Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Memahami Munasabah Ayat Dalam Perspektif Tafsir Tematik

Memahami Munasabah Ayat Dalam Perspektif Tafsir Tematik

Memahami Munasabah dan asbabun nuzul ayat Al-qur'an menduduki posisi penting dan krusial dalam proses menafsirkan ayat. Mengetahui korelasi antar ayat dapat membantu seseorang memperoleh pentakwilan yang baik dan pemahaman yang lebih mendalam. Lebih dari itu, dengan mengetahui munasabah suatu ayat berfungsi untuk membantu memahami ayat-ayat yang tidak memiliki asbabun nuzul. Pengetahuan munasabah tidak bersifat tauqifi (berdasarkan wahyu Allah swt), melainkan berdasarkan ijtihad mufassir dan ketajaman rasa bahasa (dzauq)-nya terhadap kemukjizatan Al-Quran, rahasia-rahasia sastra Al-Quran serta variasi penjelasannya yang elok. Hal ini berdasarkan kajian terhadap serangkaian ulasan buku ini tampak mengembangkan analisis munasabah antar ayat secara baik dan proporsional. M. Quraish Shihab dalam Rosidin menyatakan bahwa ulama-ulama Al-Quran menggunakan kata munasabah untuk dua makna, yaitu:
  1. Hubungan kedekatan antara ayat atau kumpulan ayat Al-Quran satu dengan lainnya. Hubungan ini meliputi beberapa hal, antara lain: 1) hubungan kedekatan ayat ini terdiri dari beberapa kategori, di antaranya: 1) hubungan kata demi kata dalam suatu ayat, 2) hubungan ayat dengan ayat sesudahnya, 3) hubungan kandungan ayat dengan penutupnya, 4) hubungan surah dengan surah berikutnya, 5) hubungan awal surah dengan penutupnya, 6) hubungan nama surah dengan tema utamanya, serta 7) hubungan uraian akhir surah dengan uraian awal surah berikutnya.
  2. Hubungan makna satu ayat dengan ayat lain, misalnya: pengkhususannya, atau penetapan syarat terhadap ayat lain yang tidak bersyarat. 

Sehubungan dengan terpenuhinya tahapan ke 4 dalam lingkup Tafsir Maudhu’i Model Al-Farmawi, pengkaji hanya memberikan salah satu hubungan (munasabah) yang terindikasi di dalam buku ini. Hal ini dikarenakan keterbatasan ilmu pengkaji dalam menganalisis setiap kategori munasabah di atas secara rinci dan komprehensif.

Di dalam buku tersebut, penulis menunjukkan ijtihadnya dengan menganalisis hubungan kedua ayat berikut, untuk menguatkan uraian topik bahasan bahwa Al-Quran sebagai landasan dasar pendidikan Islam. Keduanya memiliki keterkaitan pada lafadz الْكِتَابِ yang berarti kitab (Al-Quran) dan لِكُلِّ شَيْءٍ / مِنْ شَيْءٍ yang bermakna “setiap sesuatu”. QS. Al-An’am (6) : 38. yang maksudnya bahwa Tidak ada satu hal pun yang luput dari catatan kitab (Al-Quran), maka Al-Quran dinilai berisi petunjuk “segala sesuatu” yang dikuatkan dengan QS. Al-Nahl (16) : 89. Allah menjelaskan bahwa telah menurunkan kepada kepada NAbi Muhammad sebuah kitab yang menerangkan tiap-tiap sesuatu sebagai hudan (petunjuk) dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”


Selain itu pada uraian berikutnya terkait peristiwa kejadian manusia dan keberadaannya di alam ini sebagai khalifah, penulis juga mengindikasi munasabah antar makna dan kata dalam satu ayat, seperti yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 30 dan 34 serta di dukung oleh ayat-ayat lainnya. Bagian awal ayat QS. Al-Baqarah: 30 di atas menunjukkan kata خليفة (khalifah) sangat terkait erat secara lafazh dengan kata خُلَفَاءَ (khulafa’) di dalam QS. Al-Naml ayat 62. Dimana keduanya berasal dari kata yang sama خلف (khalafa) yang berarti menggantikan atau melanjutkan posisi Adam di muka bumi.

Pada bagian selanjutnya penulis menguatkan pendapat dengan menghubungkan peran penting penciptaan khalifah di muka bumi ini sebagaimana termuat dalam QS. Al-Baqarah ayat 34. Munasabah disini terletak pada makna kedua ayat yang saling melengkapi satu sama lainnya; dimana penciptaan khalifah dan tujuan penciptaannya termuat di dalam QS. Al-Baqarah: 30, selanjutnya peran penting khalifahannya dilengkapi di dalam QS. Al-Baqarah ayat 34.

Tidak cukup dengan uraian tersebut, penulis juga memperkuat pandangannya tentang urgensi kekhalifahan dan menghubungkan keterkaitan ayat-ayat sebelumnya dengan beberapa ayat lain berdasarkan persamaan lafazh dan makna, di antaranya: di dalam QS. Shad: 26, Al-A’raf: 74, Al-An’am: 16, dan Al-Fathir: 39. Bahkan penulis menambahkan bahwa penggunaan khalafa dalam bentuk jama’ khalaif atau khulafa’ untuk menegaskan besarnya tanggungjawab seorang khalifah di muka bumi, sehingga hal ini patut menjadi perhatian penting. Namun demikian penetapan manusia sebagai khalifah tidak berarti membebaskannya dari pengawasan dan ketaatannya kepada Allah swt.


Uraian pada bab yang sama dilanjutkan penulis dengan menggunakan QS. Al-Baqarah ayat 84 dalam kaitan makna antar ayat; perihal kewajiban tunduk dan taat terhadap khalifah yang terpilih di masyarakat. Lebih jauh penulis menghubungkan ulasannya dengan bagian ayat lanjutan QS. Al-Baqarah ayat 30.

Perihal hubungan pencantuman ayat ini dengan ayat lainnya, penulis dalam bukunya mengemukakan bahwa: “Salah satu kata yang digunakan dalam ayat di atas menunjukkan khalifah. Secara eksplisit kata ini terdapat pada bagian pertama ayat yang sama. Pertanyaan malaikat sebagai respon terhadap pernyataan khalifah. Manakala ditunjukkan satu kata selain yang menunjuk kepada Adam, maka cukup jelas intisari persoalan”.

Al-Quran menegaskan bahwa Adam tidak berbuat kerusakan di muka bumi dengan menggantikan kata yang tidak menunjuk kepada Adam. Akan tetapi kerusakan itu akan terjadi jika Adam tidak tunduk kepada Allah swt, sehingga ia dihadirkan ke dunia ini. Besarnya urgensi mentaati khalifah dilengkapi penulis dengan ketentuan bahwa pertanggungjawaban peran khalifah tetap kepada Allah swt, dilanjutkan dengan uraian hubungan pembahasan secara maknawi terhadap QS. Al-Ahzab ayat 72 untuk menegaskan bahwa manusia akan diminta pertanggungjawaban atas amanat yang diberikan kepadanya sebagai khalifah di bumi.