Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pentingnya Pendidikan Keimanan Bagi Anak

Pentingnya Pendidikan Keimanan Bagi Anak

Menurut Mohammad Fauzil Adhim orang tua harus memberikan pendidikan keimanan pada anak sejak dini, saat anak mulai dapat memahami lingkunganya. Hal ini dilakukan agar anak memiliki pondasi keimanan yang kuat, sehat jasmani, rohani serta kepekaan sosial. Tujuan ini dapat dicapai apabila seluruh materi pendidikan keimanan dapat difungsikan secara optimal oleh orang tua dalam proses mendidik anak.

Adapun materi pendidikan keimanan yang harus diperhatikan oleh orang tua sebagaimana menurut Mohammad Fauzil Adhim yaitu, sebagai berikut:

1. Mengenalkan Allah kepada Anak.

Adapun cara yang ditempuh dalam rangka mengenalkan Allah kepada anak yaitu dengan cara yang pertama membacakan Kalimat Tauhid kepada Anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan agar anak memiliki iman yang kuat dan kokoh, yaitu orang tua harus mengenalkan dan memperdengarkan kalimat La Ilaha Illallah kepada anak yang baru lahir. Mohammad Fauzil Adhim (2012 : 72) mengutip dari Ibnu Qayim Al-Jauziyyah dalam Tuhfat al-Maudud bi Ahkam Al Maulud mengatakan ”Diawal waktu, ketika anak-anak mulai bisa bicara, hendaknya mendiktekan kepada mereka kalimat laa ilaha illa llah muhammadarrasulullah, dan hendaknya sesuatu yang pertama kali didengar oleh telinga mereka adalah laa ilaha illallah (mengenal Allah)”. Hal ini bertujuan agar pertama kali yang didengar oleh anak adalah kalimat tauhid serta pengetahuan tentang Allah, dan ke- Esaanya. Kalimat suci inilah yang perlu dikenalkan pada awal kehidupan bayi-bayi kita, sehingga membekas pada otaknya dan menghidupkan cahaya hatinya. Apa yang didengar bayi pada saat awal-awal kehidupanya akan berpengaruh pada perkembangan berikutnya, khususnya terhadap pesan-pesan yang disampaikan dengan cara yang mengesankan (Adhim, 2006: 229-230). Selain itu juga ajarkan kepada mereka bahwa Allah bersemayam di atas singgasana-Nya yang senantiasa melihat dan mendengar perkataan mereka, senantiasa bersama mereka di manapun mereka berada.

Yang kedua adaah membiasakan Melafadzkan Kalimat Thoyyibah. Mengenalkan Allah kepada anak dilakukan dengan terus- menerus melafadzkan kalimat thoyyibah. Seperti mengucapkan Subhanallah Al Hamdulillah Allahu Akbar disertai dengan aktivitas yang dilakukan, sehingga anak bisa menyambung bacaan dan aktivitasnya. Mohammad Fauzil Adhim (2006: 229) berpendapat setiap memulai pekerjaan apa pun bentuknya, orang tua mengajari mereka mengucap basmalah. Mengajari mereka menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Alhamdulillah diucapkan sebagai rasa syukur, ketika melakukan aktivitas tertentu. Subhanallah dilafadzkan jika melihat ciptaan Allah dan sebagainya.

 Yang ketiga adalah dengan cara memperkenalkan Sifat-Sifat Allah Ta’ala. Orang tua pertama kali mulai memperkenalkan Allah kepada anak melalui sifat-Nya, yakni Al-Khaliq (Maha Pencipta). Kita tunjukkan kepada anak-anak kita bahwa ke mana pun kita menghadap wajah kita, di situ kita menemukan ciptaan Allah. Kita tumbuhkan kesadaran dan kepekaan pada mereka, bahwa segala sesuatu yang ada di sekelilingnya adalah ciptaan Allah. Semoga dengan demikian, akan muncul kekaguman anak kepada Allah. Ia merasa kagum, sehingga tergerak untuk tunduk kepadaNya (Adhim, 2006: 234). Memberikan sentuhan kepada anak tentang sifat kedua yang pertama kali diperkenalkan oleh Allah swt, melalui Rasulullah saw. yakni Al-Karim. Di dalam sifat ini berhimpun dua keagungan, yakni kemuliaan dan kepemurahan. Kita asah kepekaan anak untuk menagkap tanda-tanda kemuliaan dan sifat pemurah Allah dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga tumbuh kecintaan dan pengharapan kepada Allah (Adhim, 2006:

2. Membina Anak untuk Beriman kepada Allah.

Dalam membina anak untuk tetap beriman kepada Allah Ta'ala Mohammad Fauzil Adhim memaparkan sebagai berikut:
  • Mengajarkan Anak untuk Tidak Mempersekutukan Allah. Menurut Mohammad Fauzil Adhim dalam majalah Suara Hidayatullah (2013: 72-73), menerangkan bahwa orang tua harus mengajarkan anak untuk tidak mempersekutukan Allah dengan selainnya. Ini prinsip dasar tauhid yang melandasi apapun pelajaran agama yang diberikan berikutnya. Tidak akan bermanfaat apapun amal yang dikerjakan oleh seseorang jika mempersekutukan Allah, meskipun ia merasa benar-benar mencintai Allah. Pendapat ini dikutip dari firman Allah dalam surat Luqman ayat 13, yang berbunyi: “Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” Dari surat Lukman ayat 13 dapat dipetik pelajaran bahwa tidak ada landasan yang lebih bagi keimanan anak-anak kita melebihi kemurniaan tauhid dengan tidak mempersekutukan Allah. 
  • Menanamkan Perasaan Takwa kepada Allah di Jiwa Anak. Takwa ialah hasil hakiki dan buah alami emosi keimanan yang mendalam, yang berhubungan dengan (perasaan) selalu diawasi Allah, takut kepada-Nya, takut kepada murka dan siksa-Nya, serta mengharapkan ampunan dan pahala daripada-Nya (Ulwan, 1990: 2). Takwa merupakan nilai yang mendasar dan sangat mulia yang harus dimiliki oleh seseorang muslim karena menjadi ukuran jauh dekatnya seseorang dengan Allah (Wiyani, 2012: 27). Berbekal takwa kepada Allah swt, menjadikan anak dapat mengendalikan ucapan dan tindakannya tidak akan melampaui batas. Seorang pemarah dan mudah meledak emosinya, akan mudah luluh jika ia bertakwa. Ia luluh bukan karena lemahnya hati, melainkan ia amat takut kepada Allah swt. Menundukkan dirinya agar tidak melanggar larangan-laranganNya (Adhim, 2013: 52).
  • Berbicara dengan Perkataan yang Benar (qaulan sadidan). Menurut Mohammad Fauzil Adhim (2009: 77) qaulan sadidan adalah berkata jujur, benar dan tidak mengelabuhi. Agar orang tua dapat berkata benar, perkataan orang tua kepada anak harus sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran. Di anataranya dengan mengungkapkan kebenaran pada waktu yang tepat. Berbicara dengan perkataan benar (qaulan sadidan) akan mendorong kita untuk tetap berbenah. Membiasakan anak berkata yang jujur dan benar kepada orang lain. Sehingga anak akan menyampaikan segala hal kepada orang lain tanpa dibuat-buat ataupun ditambah-tambahkan. Selain itu dengan qaulan sadidan merupakan kunci untuk melahirkan generasi yang kuat dan tidak menghawatirkan. Karena dengan berbicara benar akan membawa kepada kebaikan-kebaikan (Adhim, 2013: 52).
  • Mendisiplinkan Anak untuk Shalat. Shalat adalah media terbesar untuk menghubungkan seorang hamba dengan Tuhannya. Shalat juga menjadi wasilah (perantara) yang sangat penting untuk membentuk tameng agama bagi seorang anak (Hadi, 2005: 95). Orang tua harus mengasuh anak untuk mendisiplinkan shalat yang dimulai pada usia tujuh tahun. Jadi kalau anak belum berusia tujuh tahun tidak mengerjakan shalat, orang tua harus memaklumi dan melapangkan hati. Sehingga tugas orang tua adalah menumbuhkan perasaan positif terhadap kebiasaan yang ingin ditumbuhkan, membangkitkan perasaan bahwa dirinya memiliki kompetensi serta menjamin bahwa mereka memiliki harga diri yang tinggi. Orang tua memperlakukan anak secara terhormat, tetapi bukan memanjakan (Adhim, 2013: 265).
  • Membiasakan Anak untuk Berpuasa. Agar anak-anak berhasrat besar melakukan puasa, mereka harus memiliki perasaan yang sangat positif terhadap bulan Ramadhan. Orang tua perlu menumbuhkan perasaan bukan sekedar memahamkan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah, bulan yang berlimpah kebaikan di dalamnya, bulan yang penuh kegembiraan karena setiap kebaikan akan dilipatgandakan ganjarannya. Tak ada bulan yang lebih mulia dibanding bulan Ramadhan. Karena itu, Ramadhan harus dinanti dan disambut dengan suka cita. Jika anak-anak sudah mempunyai perasaan yang sangat positif terhadap Ramadhan, maka mereka akan berebut untuk menjadikan dirinya sebagai orang yang mampu berpuasa secara penuh. Meski sebagai orang tua kita tidak boleh mengharuskan anak yang belum cukup umurnya untuk berpuasa sebagai orang dewasa, tetapi memacu hasrat sangat mungkin dilakukan. Orang tua harus menjadikan anak merasa, bahwa Allah swt. mencintai orang-orang yang berpuasa. Dalam hal ini, orang tua dapat membuat kesepakatan dengan anak. Misalnya, orang tua sepakat agar anak mau berpuasa sampai dzuhur. Setelah itu, orang tua dapat menambahkan waktu puasa anak secara berangsur-angsur sampai akhirnya anak dapat terbiasa berpuasa sehari penuh.
  • Membangun Sikap Beriman Terhadap Takdir. Orang tua perlu menanamkan kepada anak sikap beriman terhadap takdir. Karena berawal dari sikap yang benar terhadap takdir, kita bisa berharap lahirnya anak-anak yang kuat memegangi prinsip, kokoh pendirianya, kuat keyakinanya kepada Allah „Azza wa Jalla beserta segala yang dituntunkan-Nya, serta memiliki integritas pribadi yang kuat. Sikap yang tepat kepada takdir mengantarkan anak untuk jujur dan mandiri. Anak akan belajar menempa diri untuk tidak berharap selain kepada Allah „Azza wa Jalla. Melalui pembentukan sikap yang benar terhadap takdir, kita bisa berharap akan lahir para pemberani yang perkasa untuk memimpin dunia. Mereka perkasa justru karena kepasrahannya terhadap setiap ketentuan-Nya. Inilah yang sekarang perlu orang tua pikirkan. Sudah saatnya mengubah cara membangun kepribadian anak. Percaya diri yang kokoh sudah seharusnya lahir dari iman yang kuat. Salah satunya iman kepada takdir.
  • Membangkitkan Muraqabah Sejak Dini. Sebagai orang tua semestinya yang diterapkan dalam mendidik anak ialah dengan selalu menanamkan sifat muraqabah. Muraqabah yaitu merasa senantiasa diawasi dan tidak pernah luput dari penglihatan Allah. Sesungguhnya pengawasan Allah sangat tajam dan jeli. Tidak ada satu pun perbuatan yang luput dari pengawasan Allah. Dan tidak ada satu pun kezaliman yang terbebas dari perhitungan Allah (Adhim, 2009: 248). Membangkitkan muraqabah pada diri anak semenjak dini, membuat anak memiliki kesadaran bahwa setiap langkahnya senantiasa mendapat pengawasan dari Allah. Hal ini akan merangsang anak untuk memiliki kendali perilaku yang berasal dari dalam dirinya (internal locus of control). Ia sekaligus membangkitkan komitmen dan tanggung jawab, sehingga pikiran dan tindakan anak lebih terarah. Pada akhirya akan memperkuat maksud dan tujuan sosialnya sehingga ia akan mudah untuk berkorban.