Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bayi Tabung Perspetif Hukum Islam

Bayi Tabung Perspetif Hukum Islam

Masalah bayi tabung atau enseminasi buatan sampai sekarang masih banyak yang dibicarakan oleh umat islam tentang hukum dan kedudukanya dalam fikih islam. Kajian dalam masalah ini mesti menggunakan pendekatan ijtihad yang lazim digunakan oleh para mujtahid. Karena ini adalah baru dan tidak ada di jaman Rasul dan ulama mutaqaddimin. Metode ijtihad digunakan agar sesuai dengan prinsip dan jiwa al-qur’an dan sunnah yang menjadi pegangan umat islam . sudah tentu ulama yang melakukan ijtihad dalam masalah ini adalah orang yang ahli dalam hukum islam sekaligus paham terhadap masalah kedokteran dan ahli dalam genetika atau biologi. Dengan pengkajian dengan multi disiplin ilmu maka akan dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan petunjuk al-qur’an yang mendasar serta dilakukan secara profesional.

Bayi tabung (enseminasi buatan) apabila dilakukan dengan sel sperma suami dan ovum istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke rahim wanita yang lain termasuk istri sendiri yang lain (bila suami punya istri lebih dari satu), maka ISLAM MEMBENARKAN, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikkan kedalam vagina (uterus) istri maupun dengan cara pembuahan diluar rahim , kemudian ditanam kedalam rahim istri dengan syarat kondisi suami istri benar-benar memerlukan perlakuan seperti itu agar mendapatkan anak. Ini disebabkan karena dengan cara pembuahan alami tidak bisa untuk mendapatkan anak. Hal ini sesuai dengan kaedah fikih yaitu:

ألحاجة تنزيل منزلة الضرورة , والضرورة تبيح المحضورات
“Hajat (keperluar yang sangat penting) itu diperlakukan seperti dalam keadaan terpaksa (darurat). Dan darurat itu membolehkan memberlakukan sesuatu yang terlarang”.

Akan tetapi apabila enseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan atau ovum, maka DIHARAMKAN DALAM ISLAM dan hukumnya sama dengan prostitusi (zina). Dampak hukum dari perbuatan enseminasi tu adalah anak hasil enseminasi tersebut tidak sah dan nasabnya dibangsakan kepada ibu yang melahirkannya, dan bukan kepada ayahnya.

Adapun dalil yang dapat menjadi landasan keharaman ini adalah sebagai berikut:

yang pertama adalah dalil dari Al-qur’an surat al-isra’ ayat yang ke 70

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam

وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْر
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan

وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ
Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik

وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

yang kedua adalah terdapat dalam surat  at-Tiin ayat yang ke 4

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya”

Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia mempunyai keistimewaan dan kemuliaan di sisi Allah sehingga melebihi makhluk lainnya yaitu dengan terpeliharanya nasab dan keturunan yang berbeda dengan binatang dan lainnya. Maka seharusnya manusia harus menghormati keistimewaan tersebut dengan menjaga nasabnya. Oleh karena itu melakukan enseminasi buatan dengan proses donor pada hakikatnya merendahkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Allah yang mulia.

Kedua ayat tersebut di atas juga dipertegas dengan hadits dari Rasulullah:

لا يَحِلُّ لِامرئ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أن يسقى ماءه زرع غيره (أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ، والتِّرْمِذِيُّ، وصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ، وحَسَّنَهُ الْبَزَّارُ).
“tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (vagina istri orang lain)”

Berdasarkan hadits di atas maka para ulama mazhab sepakat mengharamkan seseorang untuk mengawini atau melakukan hubungan badan dengan wanita lain yang bukan istrinya ataupun wanita yang hamil dari orang lain yang masih melakukan ikatan perkawinan yang sah. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan menikahi wanita hamil dari orang lain akibat zina.
  • Menurut mazhab Hanbali wanita tersebut tidak dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya sebelum tahu kandungannya sebab dia itu terkena iddah sampai dengan melahirkan.
  • Menurut mazhab Syafi’i hukumnya membolehkan wanita hamil tersebut dikawini oleh orang yang tidak menghamilinya tanpa harus menunggu bayinya lahir sebab anak yang dikandung tersebut tidak ada hubungan nasab dengan dengan laki-laki yang mengahamili wanita tersebut. Oleh karena itu adanya janin itu sama dengan tidak adanya dari sisi hukumnya sehingga tidak perlu adanya iddah.
  • Abu Hanifah membolehkan juga seseorang mengawini wanita hamil dari zina dengan orang lain (sah nikahnya) dengan syarat si laki-laki yang mengawininya itu untuk sementara tidak boleh melakukan hubungan suami istri sebelum kandungannya lahir.
Jelaslah bahwa mengawini wanita hamil karena zina itu merupakan masalah ijtihadiyah dan dikalangan ulama ada tiga pandangan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Pendapat yang paling memebrika maslahat bagi masyarakat Islam adalah pendapat Abu Hanifah yang membolehkan seorang pria menikahi wanita hamil karena zina dengan pria lainnya yang tidak mau bertanggung jawab dengan cacatan, suaminya itu harus menahan diri dari menyetubuhi istri sebelum melahirkan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
  1. Hukum yang dikemukakan oleh Abu Hanifah telah mengandung unsur yang bersifat mendidik dan penyembuhan penyesalan bagi wanita pelaku zina.
  2. Untuk menjaga kehormatan anak yang tidak berdosa yang lahir dengan hubungan tidak sah
  3. Untuk menjaga aib pada keluarga wanita itu sebab kelahiran anak yang tidak sah (diluar nikah)
  4. Untuk menjaga nasab dan keturunan maka disyaratkan bahwa suaminya tidak boleh menyetubuhi istrinya sebelum anaknya lahir. Karena itu adalah anak yang di nasabkan kepada ibunya, bukan kepada suaminya.Sesuai dengan sabda Rasulullah: ألا لا تؤطأ الحبالى حتى يضعن ولا الخيالى حتى يستبرأن بحيضة "Ingatlah ! tidak boleh disetubuhi wanita-wanita hamil sehingga mereka melahirkan, dan tidak boleh juga disetubuhi wanita tidak hamil sehingga jelas bersih rahimnya karena menstruasi”
Adapun pendapat mazhab Hanbali yang mengharamkan perkawinan dengan wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamilinya sebelum selesai iddahnya adalah mengandung hukum yang cukup berat yang tidak hanya dirasakan oleh wanita pelaku zina, melainkan juga oleh keluarganya dan juga oleh anak yang dilahirkannya . sebaliknya dalam mazhab syafi’i yang membolehkan wanita hamil tersebut dikawini oleh orang yang tidak menghamilinya tanpa harus menunggu bayinya lahir sebab anak yang dikandung tersebut tidak ada hubungan nasab dengan dengan laki-laki yang mengahamili wanita tersebut dengan tanpa syarat, ini dapat menimbulkan dampak negatif dalam masyarakat karena terjadi pengkaburan nasab. Dan juga berdampak pada pria dan wanita tidak merasa takut lagi melakukan zina sebab kalau terjadi kehamilan , pria dan wanita tersebut bisa nikah dan atau wanita tersebut bisa kawin dengan pria lain yang cocok dan mau bertanggung jawab atas anak yang dikandungnya tanpa menunggu masa iddah.

Di sampaing ayat dan hadits di atas , sebagai dasar dari diharamkannya enseminasi buata melalui donor tersebut adalah ada kaedah dari fiqh islam yang menjelaskan:

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
"Menghindari mudharat (bahaya) adalah lebih didahulukan atas mencari/menarik mashlahat (kebaikan)”.

Kita dapat memaklumi bahwa enseminasi buatan melalui donor sperma atau ovum adalah lebih mendatangkan mudharat dari pada manfaat. Manfaatnya adalah bisa membantu pasangan suami istri yang keduanya mandul atau salah satu dari keduanya mandul atau ada hambatan alami pada suami atau istri yang menghalangi bertemunya sperma dan ovum misalnya karena saluran telornya terlalu lemah atau lainnya. Namun dibalik itu terdapat mudharat atau mafsadat yang jauh lebih besar adalah sebagai berikut:
  1. Terjadi percampuran nasab. Padahal islam sangat menjaga kecusian nasab karena ada kaitannya dengan ke-mahram-an dalam masalah pernikahan dan kewarisan.
  2. Enseminasi buatan dengan cara donor pada hakikatnya sama dengan prostitusi / zina karena ada kesamaan pada percampuran sperma dan ovum tanpa adanya perkawinan yang sah.
  3. Kehadiran anak hasil dari enseminasi buatan dengan donor bisa menjadi sebuah konflik dalam rumah tangga karena akan berbeda dari segi fisik, sifat dan karakter serta DNA yang tidak sama dengan orang tuanya. Ini akan lebih jelek nasab anak ini karena dirahasiakan sehinga tidak jelas asal usulnya dan ini akan lebih jelek dibandingkan dengan anak adopsi (karena dia diketahui nasabnya).
  4. Bayi tabung akan lahir tanpa adanya proses kasih sayang yang alami dari orang tuanya yang sah kartena tidak diketahui nasabnya.