Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Konsekwensi Meriwayatkan Hadits Lemah

Konsekwensi Meriwayatkan Hadits Lemah

Bahwa para ulama yang memperbolehkan meriwayatkan Hadits lemah dengan memenuhi persyaratannya. Ataupun menurut istiah orang terdahulu “tidak teliti dalam sanad-sanad perawinya”,yang mereka maksudkan dengan itu adalah menganjurkan berbuat amal shaleh yang kesalehannya dibenarkan oleh dalil-dalil syari’ah yang dapat diandalkan, atau melarang melakukan perbuatan keji dengan kekejiannya dibenarkan oleh dalil-dalil syariah. Mereka tidak bermaksud menetapkan kesalehan dan kekejian perbuatan tersebut dengan Hadits lemah. Akan tetapi mayoritas orang awam bahkan sebagian para ahli Hadits itu sendiri tidakmembedakan antara masalah diperbolehkannya meriwayatkan hadits lemah dengan memenuhi persyaratannya dan masalah menetapkan amal perbuatan dengannya.

Oleh sebab itu kita dapatkan mayoritas negara Muslim merayakan Nishfu Sya’ban (pertengahan Sya’ban). Dengan mengkhususkan juga pada malamnya untuk meakukan shalat dan siang harinya untuk berpuasa. Mereka berpedoman dengan hadits yang membicarakannya yang diriwayatkan dari Ali secara Marfu’:

عن علي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم : “إذا كانت ليلة نصف شعبان فقوموا ليلها ،وصوموا يومها ؛فإن الله تبارك وتعالى ينـزل فيها لغروب الشمس إلى السماء الدنيا فيقول : ألا من مستغفرٍ فأغفر له ؟ ألا من مسترزقٍ فأرزقه ؟ ألا من مبتلى فأعافيه ؟ ألا سائل فأعطيه ؟ ألا كذا ألا كذا ؟حتى يطلع الفجر”.

Dari Ali bin Abi Thalib berkata: Rasulullah SAW bersabda: Jika malam nishfu Sya’ban maka hendaklah kalian shalat malam dan berpuasa di siang harinya karena sesungguhnya Allah SWT turun ke langit dunia pada malam itu sejak matahari tenggelam. Allah berfirman: Adakah orang yang meminta ampunan sehingga Aku pasti mengampuninya? Adakah orang yang meminta rizki sehingga Aku pasti memberinya rizki? Adakah orang yang terkena musibah sehingga Aku pasti menyembuhkannya? Adakah orang yang meminta sehingga Aku pasti akan memberinya? Adakah orang yang begini? Adakah orang yang begitu? Demikianlah sampai terbit fajar.”

Baca juga: Bahaya Hadits Palsu

Hadits di atas diriwayatkan oleh ibnu majah, Al-Munziri menunjukkan kelemahannya. Demikian pula al-Bushiri dalam zawaa’id Ibnu Majah. Hadits tersebut dalam sanadnya terdapat Abu Bakar bin Abdillah bin Muhammad bin Abi Sirah yang dituduh oleh Ahmad, Ibnu Hibban, al-Hakim dan Ibnu Adi bahwa ia memalsuan Hadits sebagaimana yang tercantum dalam buku Tahziibut Tahziib.

Demikian pula kita dapatkan mayoritas negara muslim merayakan hari ‘Asyura, mereka menyembelih hewan dan dianggapnyasebagai hhari raya, melapangkan kaum keluarga, berpegang kepada hadits lemah, bahkan palsu menurut Ibnu Taimiyah dan lainnya. Haditsnya cukup populer dikalangan masyarakat awam yang bunyinya:

من أوسع على نفسه وأهله يوم عاشوراء أوسع الله عليه سائر سنته

“Siapa yang memberi kelonggaran kepada dirinya dan keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberi kelonggaran rizki kepadanya sepanjang tahun.”

Baca juga: Hadits Shahih dan Hasan Cukupkan Dalam Menetapkan Hukum..?

Hadis ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Ibnu Abdil Bar dan lainnya dari berbagai jalur periwayatan dari sekumpuan sahabat dan terdapat dalam buku Al-Istidzkar.

Imam a-Baihaqi mengatakan: “Sanad-sanad ini walaupun lemah , bisa disatukan yang satu dengan lainnya maka akan menjadi kuat, Waallahu a’lam. Pendapat ini perlu diteliti. Ibnu Jauzi dan Ibnu Taimiyah dalam Minhaajus Sunnah dan lainnya menetapkan dengan tegas bahwa hadits tersebut palsu. Al-‘Iraqi dan lainnya berusaha membelanya dengan menetapkan sebagai hadits hasan. Para ulama kemudian merasa sulit untuk mentatakan palsu terhadap hadits tersebut.

Menurut Yusuf al-Qaradhawi bahwa hadits tersebut adalah rekaan sebagian Ahlus Sunnah yang bodoh dalam rangka membantah sikap yang berlebihan kaum Syi’ah yang menjadikan hari “Asyura sebagai hari sedih dan bela sungkawa. Maka mereka menjadikannya sebagai hari berjaga,mandi dan melapangkan kaum keluarga. Di samping itu banyak juga salah pemahaman dan perbuatan bid’ah yang tersebar dikalangan umat Islamersumber pada hadits-hadits yang lemah yang laris pada zaman kelakangan ini danterusmelekat dibenak dan hati masyarakat yang akibatnya mereka menolak hadits shahih yang semestinya mereka jadikan dasar pemahaman dan dalamberibadah sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Imam Asy-Syathibi dalam bukunya Al-I’tishaam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah turut pula memberikan penjelasan tentang maksud ucapan para ulama bahwa hadits lemah boleh dipergunakan dalam kaitannya dengan keutamaan perbuatan ataupun anjuran dan memberiperingatan. Sebagaiman ucapannya: “. . .apa yang dikatakan oleh para ulama bahwa hadits lemah boleh dipergunakan dalam kaitannya dengan keutamaan perbuatan bukanlah dimaksudkan untukmenetapkan hukum sunnah dengan hadits yang tidak boleh dijadikan argumentasi tersebut. Karena sunnah itu adalah hukum yang ditentukan oleh syari’at sehingga tidak mungkin dapat ditetapkan tanpa dalil syar’i. Barangsiapa yang menuturkan riwayat yang dikatakan sebagai sumber dari Allah bahwa dia menyukai suatu amal perbuatan tanpa disertai dengan dalil syar’i,maka berarti dia telah mensyari’atkan sebagian ajaran tanpa agama tanpa ijin Allah. Sebagaimana ketika ditetapkannya hukum wajib ataupun haram. Oleh karena itu para ulama berselisih pendapat tentang hukum sunnah. Sebagaimana juga tentang hukum lainnya, bahkan ia adalah bagian dari pokok agamayang disyari’atkan.

Baca juga: Menolak Hadits Dha'if Dalam Fadhailul A'mal, Bolehkah..?

Adapun yang dimaksud mereka menetapkan apa yang telah ditetapkan sebagai perbuatan yang disukai Allah atau yang tidak disukai Allah dengan nash atau ijma’ seperti membaca Al-Qur’an,membaca tasbih, berdo’a, bersedekah, membebaskan hamba sahaya, berbuat baik kepada sesama manusia, membenci perbuatan dusta, khianat dan lainnya. Bila diriwayatkan sebuah hadits tentang keutamaan sebuah perbuatan yang disukai dan pahalanya dan juga tentang hadits sebuah keburukan serta hukumannya. Bila diriwayatkan sebah hadits tentang hal tersebut dimana kita tidak mengetahui bahwa ia palsu,maka boleh meriwayatkannya dan menerapkannya. Itu berarti jiwa kita mengharapkan pahala tersebut, atau takut terhadap hukuman tersebut. Seperti seseorang yang mengetahui bahwa berniaga itu menguntungkan, akan tetapi berita yang sampai kepadanya bahwa keuntungannya adalah banyak. Maka bilaberita tersebut benar,akan sangat berguna baginya, dan bila dusta tidak pula akan membahayakannya.

Sebagai contohnya adalah memberi anjuran dan peringatan dengan cerita-cerita israiliyat, dongeng, ucapan orang-orang terdahulu, pangalaman nyata mereka dan hal-hal lainnya yang tidak boleh dijadikan rujukan dalam menetapkan hukum syar’i baik untuk amalan yang disukai ataupun tidak. Akan tetapi boleh disebutkan dalam memberi anjuran dan peringatan,menimbulkan harapan dan rasa takut. Perbatan yang telah diketahui kebaikandan keburukannya dengan dalil syari’at, maka hal itu berguna dan tidak berbahaya, baik itu benar ataupun salah. Bila telah diketahui riwayatnya itu salah ataupun palsu, maka tidak boleh dipergunakan karena perkataan dusta itu tidak sedikitpun berguna. Dan bila terbukti benar ataupun shahih , maka hukumnya pun ditetapkan dengannya. Adapun bila ada dua kemungkinan , maka boleh juga diriwayatkan karena ada kemungkinan benarnya dan tidak akan membahayakan walaupun dusta. Ahmad ketika mengatakan: “Dalam memberi anjran dan peringatan,kami tidak terlalu teliti dalam masalah sanad”. Artinya bahwa hadits –haditsnya yang diriwayatkan dengan sanad-sanadnya. Walaupun orang yang menceritakannya bukan orang yang tsiqah yang dapat dijadikan sandaran argumentasi. Demikian juga ucapan yang mengatakan bahwa hadits tersebut boleh dipergunakan dalam keutamaan perbuatan. Maksudnya adalah menggunakannya dalam melakukan amal shaleh, seperti membaca Al-qur’an, berzikir dan menjauhkan diri dari perbuatan yang keji.

Bila hadits-hadits lemah yang menjelaskan keutamaan ini meliputi ukuran dan pembatasan, seperti shalat ataupun dzikir pada waktu tertentu, maka hal itu tidak diperbolehkan selama hal itu tidak pernah ditetapkan oleh dalil syar’i. sebagaimana hadits berikut ini:

مَنْ دَخَلَ سُوقاً مِنَ الأَسْوَاقِ، فَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ، وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ

Artinya: "Barang siapa masuk pasar, kemudian dia membaca: Laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariika lah, lahul-mulku wa lahul-hamdu, wa huwa ‘ala kulli syai’in qodiir, Siapa yang membaca doa di atas ketika masuk pasar, Allah akan mencatat untuknya satu juta kebaikan, dan menghapuskan darinya satu juta keburukan."

Karena berdzikir dipasar adalah perbuatan yang disukai. Ini termasuk kedalam jenis dzikir yang disukai karena termasukmengingat Allah di antara orang-orang yang lalai, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang terkenal:

ذاكر الله في الغافلين كالشجرة الخضراء في وسط الهشيم

“orang yang mengingat Allah ditengah orang lainnya lalai adalah seperti pohon hijau di antara pohon yang kering”. (HR. Abu Na’im dari ibnu Umar. Imam A~l-‘Iraq`imenganggap hadits ini lemah)

Adapun ukuran pahala sebagaimana yang diriwayatkannya maka ditetapkan dan tidak ditetapkan maka tidak akan berbahaya. Walhasil, hadits-hadits seperti ini boleh diriwayatkan dan ditetapkan dalam hal memberikan anjuran dan peringatan. Tidak dalam status menentukan bahwa perbuatan tersebut disukai (mustahab), kemudian meyakini konsekwensinya berupa ukuran pahala dan hukuman yang tergantung pada dalil syar’i. walaupun adanya penjelasan seperti ini, kita dapatkan banyak orang menetapkan pembatasan dan ukuran tersebut dengan hadits lemah.

Note:
Dikutib dari Buku Yusuf Al-Q~aradhawi tentang Metode Memahami sunnah dengan Benar