Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kriteria Hadits Shahih

 

Kriteria Hadits Shahih
A. Pengertian Hadits Shahih
         Shahih merupakan kalimat musytaq dari kata shahha-yashihhu-suhhan wa sihhatan bermakna sembuh atau sehat, bisa juga dikatakan selamat dari sifat cacat. Shahih adalah lawan dari kata Saqiem dan dapat juga berarti Haq lawan dari kata Bathil. Sedangkan secara syara' bermakna :

  هومَا اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ العَدْلِ الضَابِطِ عَنْ مِثْلِهِ  إِلىَ مُنْتَهَاهُ و سلم مِنْ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ قادحة. 
“ Yakni suatu Hadits yang bersambung sanadnya yang dinukil oleh perawi yang adil lagi dhabit ( memiliki hafalan yang kuat) dari orang yang semisal itu (yang adil lagi dhabit) dari awal sampai akhir sanad dan selamat dari syadz serta selamat dari illat qadihah (cacat yang dapat mengurangi derajat hadits)"

Baca juga: Sunnah fi'liyah

Imam Ibnu Hajar Al-'Asqalani memberikan defenisi Hadits Shahih adalah:
ماَ نَقَلَهُ عَدْلٌ تَامُّ الضًّبْطِ مُتَّصِلٌ مُسْنَدٌ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ
"Yaitu suatu hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil lagi sempurna kedhabitannya, bersambung-sambung sanadnya tidak ada cacat serta tidak syadz (menyalahi riwayat yang lebih rajih)".

Imam As-Suyuti juga memberikan penjelasan bahwa  hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya, diiriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.


B. Syarat-Syarat Hadits Shahih

Dari devinisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa Hadits Shahih harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. Bersambung sanadnya yaitu dari awal sampai akhir sanad tidak boeh ada yang putus atau gugur perawinya. sebagaimana hadits tentang niat yaitu Imam al-Bukhari menerima langsung dari Al-Humaidi yang Al-Humaidi juga menerima langsung dari dari sufyan dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad. Jadi dari Imam Al-Bukhari (mukharrij) sampai dengan Nabi sanadnya merupakan mata rantai yang tidak terputus.
  2. Semua perawinya orang yang adil. Semua perawinya yang meriwayatkan hadits itu adalah adil. Maksudnya adalah perawinya adalah orang yang terbiasa berbuat taat dan mejaga muruahnya serta terjaga dari dosa yang besar dan tidak terbiasa melakukan dosa yang kecil.
  3. Semua perawinya orang yang dhabith. Maksudnya adalah orang yang teliti dalam hafalan. yaitu kuat dalam hafalan, bagus dalam mengingatnya, dan lancar dalam menyampaikannya kembali sesuai dengan hafalannya. dhabit itu terbai kepada dua yaitu dhabit dalam hafalan dan dhabit dalam tulisan.
  4. Hadits itu selamat dari cacat. Maksudnya adalah bahwa sanad atau atan hadits itu diriwayatkan oleh orang yang tsiqah (adil lagi dhabit). Atau bisa juga dikatakan bahwa hadits yang cacat atau terdapat penyakit karena disebabkan tersembunyi atau samar-samar kecacatannya yang dapat merusak keshahihan hadits.
  5. Hadits itu selamat dari syadz (tidak bertentangan dengan hadits yang lebih rajih)
Kalau hadits itu sudah memenuhi lima syarat sebagaimana tersebut di atas, jumhur ulama sudah sepakat menetapkan bahwa adits itu merupakan Hadits Shahih. Hanya sebagian ulama masih mensyaratkan bahwa hadits shahih itu paling sedikit mempunyai 2 sanad sehinga tiap thabaqat. yang berpendapat demikian antara lain: Abu Ali Al-Jubai dari mu'tazilah. 
Tetapi jumhur ulama tidak mengharuskan minimal dua orang perawi tersebut. sehingga ketika lima syarat hadits shahih terpenuhi maka   hadits itu dinyatakan shahih. Namun ulama berbeda pendapat kalau satu syarat tersebut ada yang tidak terpenuhi apakah mutlak tidak dapat dikatakan hadits shahih ataukah ada kemungkinan untuk dikatakan hadits shahih. 
Sebagian ulama berpandangan bahwa mutlak tidak dapat diterima sebagai hadits shahih. Sebagian yang lain mengatakan bahwa masih mungkin dikatakan hadits shahih apabila syarat yang tidak terpenuhi itu tidak begitu berat. Seperti hadits mursal shahaby (hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat tetapi tidak mendengar atau menyaksikan langsung perbuatan Nabi). secara formal hadits mursal shahaby tidak terpenuhi syarat pertama dari hadits shahih yaitu bersambung sanad. Namun sebagian ulama masih dapat menerima menjadi hadits shahih asalkan empat syaratyang lain terpenuhi.


C. Martabat Hadits Shahih.

Adapun yang berbungan dengan martabat hadits shahih adalah adalah sebagai berikut:
1. Martabat Hadits shahih ditijau dari segi sanad. 
        Hadits shahih itu bertingkat-tingkat. Secara umum dapat dikatakan bahwa keshahihan suatu hadits itu didasarkan pada kesempurnaan syarat yang sudah terpenuhi. Ada yang disebabkan karena perawi, sebab perawi yang satu lebih tinggi derajatnya (kedhabitannya) dari pada perawi yang lain. oleh karena itu martabat hadits pun berbeda pula. Sanad yang paling tinggi dinamakan dengan nama Ashahhul Asanid dan ada pula yang dinamakan dengan Silsilatuzzahab . Ada juga yang martabat Wustha dan ada juga yang martabat Adna.
Contoh sanad Hadits yang bermartabat Ashahhul Asanid adalah seperti:
  1. Az-Zuhri dari Salim dari Abdullah bin Umar dari ayahnya
  2. Muhammad binsirin dari 'Abiedah bin Amer As-Salmay dari Ali
  3. IbrahimAn-Nakha'iy dari Alqamah dari Ibnu Mas'ud 
Sedangkan sanad Hadits yang bermartabat Wushta adalah:
  1. Buraid bin Abdillah bin Abi Bardah dari kakeknya dari ayahnya Abu Musa
  2. Hammad bin salamah dari tsabit dari Anas
Sedangkan sanad Hadits yang bermartabat Adna adalah:
  1. Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah
  2. Al-'Ala bin Abdir Rahman dari ayahnya dari Ab Hurairah
Martabat yang ketiga ini walaupun rendah tetapi didahulukan atas riwayat orang yang dipandang hasan Jika dia sendiri yang meriwayatkan hadits itu, seperti riwayat Muhammad bin Ishak dari Ashim bin Umar dari Jabir dan juga riwayat lainnya.

2. Martabat  Hadits shahih ditinjau dari segi kitabnya.
         Jumhur ulama membagi martabat Hadits  shahih dengan meihat kepada kitab menjadi tujuh tingkatan. yaitu:
  1. Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim yang dikenal dengan nama muttafaq ‘alaih.
  2. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari saja,
  3. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja. Menurut Ibnu Hajar pembagian tersebut tidak secara otomatis, tetapi berlaku pada umumnya saja. Sebab Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim atau ahli hadits yang lain dengan sanad yang lebih banyak dan syarat keshahihan yang sama maka tidak dikatakan Hadits riwayat Muslim tersebut lebih rendah derajatnya dari riwayat Imam Bukhari. 
  4. Hadits yang diriwayatkan orang lain yang mu'tamat yang memenuhi persyaratan Bukhari dan Muslim.
  5. Hadits yang diriwayatkan orang lain yang mu'tamat yang memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
  6. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
  7. Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain. 

D. Kehujahan Hadits Shahih
Hadits yang telah terpenuhi syarat hadits shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadits dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan hadits mutawatir. oleh karena itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah. 


E. Contoh Hadits Shahih

Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;

حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ “(رواه البخاري) 

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math’ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur” (HR. Bukhari, Kitab Adzan).

Analisis terhadap hadits tersebut:
  1. Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar dari gurunya.
  2. Semua rawi pada hadits tersebut adil dan dhabith, adapun sifat-sifat para rawi hadits tersebut menurut para ulama aj-jarhu wa ta’dil sebagai berikut: a) Abdullah bin yusuf = tsiqat muttaqin. b) Malik bin Annas = imam hafidz. c) Ibnu Syihab Aj-Juhri = Ahli fiqih dan Hafidz. d) Muhammad bin Jubair = Tsiqat. . e) Jubair bin muth’imi = Shahabat. 
  3. Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat serta tidak cacat. 
  4. tidak ada illat.